Rambut dalam Olah raga: Ekspresi Kebebasan dan Rasa Percaya Diri

“Rambut adalah simbol kebebasan individu. Lewat ekspresi rambut, manusia dihargai kodratnya sebagai manusia, bukan mesin!” ungkap Johnny Damon, skuad Boston Red Sox usai menjuarai final liga bisbol Amerika Serikat (AS), World Series 2004. Damon, yang sekarang bermain untuk NY Yankees, sengaja memelihara rambutnya gondrong mirip bintang film Renegade, Lorenzo Lamas.

Lain Damon lain pula Shane Hamman. Berkat penampilan lain dari yang lain, lifter AS, Shane Hamman, dikenali presiden George W. Bush saat tim AS ke Olimpiade 2004 berkunjung ke Gedung Putih. Hamman adalah lifter kelas berat yang dua kali tampil di Olimpiade (2000 Sydney dan 2004 Athena) dikenal sebagai Manusia Terkuat di AS. Ia memiliki ciri khas jenggot sepanjang 8 inch (sekitar 20 cm).

”It’s cool, Shanel. I like it,” demikian ucapan presiden Bush seperti ditirukan Hamman kepada koran USA Today edisi 15 Desember 2004.

Hamman disebut manusia terkuat Amerika karena memiliki rekor angkatan skuat 1.000 pon (453,6 kg), clean and jerk 500 pound (226,8 kg), dan snatch 430 pound (195 kg). Ia bertanding angkat besi di kelas 105 kg.

”Jenggot yang diikat (goatee) adalah ciri khasku. Ia cocok sekali dengan karakteristikku,” ungkap pria kelahiran 20 Juni 1972 ini. Dengan tinggi badan 175 cm, Hamman memiliki berat 136 kg dengan lingkar leher 22 inch (55 cm), bisep 22 inch (55 cm), dan lingkar paha 35 inch (88 cm).

Baik Damon maupun Hamman adalah contoh ekspresi atlet menggunakan rambut. Di sepakbola, potongan rambut ala David Beckham (Real Madrid) selalu ditunggu para pemujanya. Sedangkan di basket, potongan cornrows ala Allen Iverson (76ers, Denver) menjadi mode yang bertahan sampai sekarang. Bahkan komunitas streetballer secara tak resmi menjadikan rambut potongan Iverson menjadi model acuan.

Penggemar NBA pasti masih ingat juga bagaimana mantan pemain Denver Nuggets, Chris Andersen sering gonta-ganti rambut. Ia pernah menata rambut bergaya spikes setinggi 8 inch (20 cm) saat datang ke lapangan, yang akhirnya diminta pelatih untuk membasuh rambut itu dengan air usai pemanasan agar tak mengganggu pemain kawan maupun lawan. Andersen juga menyukai potongan rambut ala tentara Viking dalam legenda cerita Skandinavia.

Beda lagi dengan bintang tim NBA Utah Jazz asal Rusia, Andrei Kirilenko. Kirilenko sangat memahami ketokohannya, baik di AS maupun negeri asalnya. Maka ia sering berganti mode setiap 3-4 bulan. Kadang-kadang model old-school boy, atau spiky highlights, atau crazy Mohawk.

“Saya hanya ingin menyuntikkan energi baru saat berada di lapangan. Saya lebih senang menggunakan rambut sebagai media aktualisasi daripada tato. Saya juga tak mau menjadi tokoh negatif para fans lewat kegiatan merokok atau minum-minum,” ungkap Kirilenko yang membawa Utah Jazz ke final wilayah Barat NBA Play-off 2007 melawan San Antonio Spurs.

Perkembangan Mode Rambut

Perkembangan mode rambut di olahraga identik dengan komunitas. Pada tahun 1950-an, mode yang paling terkenal adalah the flattop buzz cut. Astronot NASA banyak memotong rambutnya dengan model ini. Bahkan sampai sekarang, potongan rambut flattop masih banyak diminati di kalangan astronot. Dalam klip lagu ”Come Together”, kelompok musik legendaris asal Inggris, the Beatles memperkenalkan potongan rambut ini dan mengindentikkan dengan aliran konservatif.

Dalam skandal Watergate, potongan rambut H.R. Haldeman menjadi salah satu kenangan visual model flattop. Julukan Halderman di White House adalah ’the brush”. Di pentas olahraga, quarterback Baltimore Colts, Johnny Unitas, adalah contoh atlet yang menggunakan potongan rambut the flattop buzz cut.

Di era 1960/70-an, bentuk potongan rambut pun berbeda. Bintang NBA asal Philadelphia 76ers, Julius ‘Dr J” Erving memperkenalkan model afro. “Pistol’ Pete Maravich hadir dengan potongan floppy locks yang match benar dengan kaos kakinya, floppy socks. Oakland Athletics reliever, Rollie Fingers bergaya dengan model kumis yang dipelintir (handlebar mustache). Lain halnya dengan New York Jets running back, John Riggins yang bergaya dengan rambut ala mohawk. Sedangkan quarterback Jets, Joe Namath berdandan dengan rambut shaggy dengan kumis ala Fu Manchu.

Pada tahun 1980-an, gaya rambut atlet pun berubah. Michael Jordan, superstar NBA dari Chicago Bulls mencukur plontos rambutnya. Kontan popularitas Jordan membuat pebasket NBA melihat kepala plontos menjadi salah satu mode menarik yang ternyata bertahan sampai sekarang.

Goose Gossage, reliever New York Yankees memilih memotong pendek rambut namun memelihara kumis Fu Manchu. Itu dilakukan Gossage untuk menjawab larangan pemilik Yankees, George Steinbrenner yang melarang para pemain Yankees berambut panjang/gondrong.

Pada era 1990-an, tren rambut diwarnai oleh mode yang dibawa Andre Agassi (tenis) dan pitcher Randy Johnson (bisbol) yang memotong rambutnya tipis di depan, samping, dan depan namun memanjangkannya di bagian belakang (mullets).
Sedangkan Dennis Rodman, pebasket Chicago Bulls datang dengan rambut yang dicat warna-warni dengan warna pelangi. Jimmy Johnson, pelatih Dallas Cowboys, di era ini berpenampilan dengan menyemprotkan hair spray sehingga rambutnya terlihat kelimis.

Di era 2000-an, munculnya generasi Allen Iverson membuat tren rambut kembali berubah. Iverson membawa mode corn-row yang bertahan sampai sekarang.

Tak Mau Kalah

Bagi atlet profesional, penampilan menjadi salah satu faktor penting menuju ketenaran. Selain tenar, pundi-pundi penghasilan juga akan bertambah jika dikontrak produk-produk fashion maupun merchandise. Dalam urusan dandan, para olahragawan pria pun tak mau kalah dengan wanita.

”Mereka adalah bintang-bintang. Ibaratnya musik rock, mereka adalah pusat tontonan,” ungkap ahli kecantikan Louis Licari. Licari memiliki salon ternama di New York dan Beverly Hills bernama ’King of Color’ karena kepiawaiannya memadu warna. “Status sebagai superstar membuat para atlet melakukan pilihan penampilan, salah satunya lewat rambut. Kebetulan mereka pun tak bermasalah dengan berapa pun biayanya.”

Para atlet kondang memiliki tukang potong rambut langganan, yang biasanya juga menangani kaum selebritas. Sally Hersberger misalnya. Tukang potong rambut Meg Ryan, Jennifer Aniston, dan Jane Fonda ini menjadi tukang potong rambut petenis Roger Federer. Kepada para selebritas itu ia memungut ongkos US$ 600 (sekitar Rp 5,4 juta).

Quarterback Carolina Panthers, David Carr, menyenangi potongan rambut pendek. Lain halnya Johnny Damon yang suka berpenampilan gondrong. Carr pernah sengaja gondrong saat menjadi rookie 2002. Ia dan ayahnya berkaul baru akan memotong rambut jika timnya Houston Texans menang dua kali berturutan (back to back). Media kontan menangkap berita menarik itu. Saat kaulnya tercapai, Carr dan ayahnya memotong rambut di auditorium stadion Reliant diliput 9 stasiun TV secara langsung.

“Sungguh tak nyaman saat rambut dipotong ditonton langsung 60-70 orang. Belum lagi yang melihat lewat televisi secara langsung,” ungkap Carr. Shaida Kootahi, si tukang potong rambut langganan Carr pun merasa grogi. ”Saya nervous juga,” ungkap Kootahi yang tak biasa pekerjaannya dilihat begitu banyak orang. Untuk jasa Kootahi, Car membayar US$ 28 saja berikut tip US$ 100.

Apakah ada atlet pria yang memelihara rambut tak mau kalah dengan wanita hingga sepinggang? Dialah San Jose State defensive tackle, Buick Tuua. Pria berdarah Samoa ini pede dengan rambut panjang sepinggang. ”Saya tak memotongnya sejak kelas satu SMP,” ungkap Tuua. Apa alasannya memanjangkan rambut? ”Rambut panjang memberiku energi ekstra. Ia salah satu sumber kepercayaan diriku,” ungkap Tuua kepada koran USA Today.

Bagi pemain football tim Pittsburgh Steeler di posisi safety, Troy Polamalu, rambut panjang membuatnya memiliki karakter pahlawan seperti dalam legenda-legenda dunia. ”Rambut panjang membuatku identik dengan tokoh Samson yang mempunyai rambut panjang sebagai sumber kekuatannya sebelum dipotong Delilah. Tokoh suku Indian, Samurai di Jepang, Yunani, atau legenda Cina semuanya berambut panjang, bukan?” ungkap Polamalu.

Namun tak semua atlet beranggapan bahwa rambut panjang atau memiliki rambut yang tertata berkorelasi dengan penampilan sebagai seorang juara. Pemegang medali emas Olimpiade musim dingin di cabang speedskater, Apolo Anton Ohno, mengaku tak mau ambil pusing dengan urusan rambut dan penampilan. ”Saat saya berlomba, penampilan diri adalah nomor dua. Saya berkonsentrasi penuh pada nomor olahraga yang saya geluti,” ungkap Ohno.

Dana Amal Lewat RambutLewat rambut ternyata bisa menolong sesama yang kesusahan. Lihatlah apa yang dilakukan atlet snowboard AS, Lindsey Jacobelis. Sejak usia 19 tahun, Lindsey mendonasikan rambutnya ke yayasan Locks of Love.

Locks of Love (situs resminya http://www.locksoflove,org/) yang bermarkas di Lake Worth, Florida, bergerak di bidang bantuan untuk anak-anak usia 18 tahun ke bawah yang mengalami masalah kehilangan rambut karena penyakit alopecia areata dan akibat kanker.

“Rambut saya bisa sampai ke pinggang. Ketika dipotong, ia akan dibuang begitu saja. Saya memilih biarlah locks of love yang memangkasnya,” ungkap Jacobelis. Rambut-rambut itu dirangkai untuk kemudian dijadikan wig yang akan dipakai oleh anak-anak yang menderita kelainan. Diperlukan waktu sekitar 4 bulan untuk membuat sebuah wig (terdiri dari 140 ribu untai rambut atau 6-10 rambut poni). Di pasaran, harganya mencapai US$ 3.500-6.000.

Atlet football jebolan Oregon State, Keller Christensen, mendonasikan rambut sepanjang 16 inch (sekitar 40,6 cm) miliknya ke Locks of Love. Christensen adalah penggemar rambut panjang. Untuk mendapatkan rambut sepanjang 16 inch itu diperlukan waktu tak kurang 2,5 tahun. ”Saya mendengar Locks of Love dari seorang teman. Akhirnya saya memutuskan mendonasikan rambut saya,” ungkap Christensen.

Namun tak semua rambut hasil donasi bisa langsung digunakan. Menurut Susan Stone, direktur eksekutif Locks of Love, per minggu ia menerima 2.000-3.000 donatur. Namun 70% tak bisa digunakan. Beberapa syarat yang harus dipenuhi agar rambut bisa digunakan adalah:1. Panjang rambut minimal 10 inch (25,4 cm)2. Rambut mesti dibundel mirip ekor kuda (ponytail) atau dikepang (braid)3. Rambut harus bersih dan kering.4. Rambut boleh berwarna alami bukan karena bleaching atau efek kimiawi.

Sedikit Rambut, Tambah Cepat

Peranan rambut dalam olahraga renang sedikit berbeda. Meskipun banyak atlet renang yang berambut panjang, namun saat mereka berenang, kontak rambut dengan air harus diminimalkan. Mengapakah demikian?

Air lebih padat dibandingkan udara. Seorang perenang memerlukan energi 5-10 kali lebih besar dibandingkan pelari. Kemampuan mengapung manusia di air ditentukan oleh kecepatan kayuhan tangan/kaki, hambatan (resistance), dan gaya tarik (drag).Manusia adalah perenang tak efisien dibandingkan ikan lumba-lumba. Efisiensi lumba-lumba mencapai 80-90 persen, sementara efisiensi perenang terbaik dunia hanyalah 10%. Alasannya adalah bahwa badan manusia memang tidak didesain untuk hidup di air, tidak aerodinamis (streamlined), dan harus mengayuh untuk bisa melawan hambatan di air. Dalam gambar ini, orang di atas lebih streamlined daripada yang di bawah.

Drag adalah gaya hambat yang menghalangi pergerakan perenang di air. Drag diilustrasikan berlawanan dengan gerakan perenang.

Gesekan antara air dengan kulit perenang mempengaruhi tarikan molekul air. Karena dalam perlombaan renang selisih kemenangan bisa hanya 0,01 detik, maka pengaruh gesekan dengan tubuh bisa berpengaruh secara signifikan. Semakin sedikit gesekan yang terjadi, maka gerakan si perenang akan semakin cepat.

Gesekan dengan tubuh perenang disebabkan oleh 3 variabel wilayah permukaan kulit, tekstur permukaan kulit, dan kecepatan. Perenang bisa mengontrol sendiri variabel tekstur permukaan kulit dengan mencukur rambut. Secepat apakah manusia berenang melawan ikan?

Kecepatan Berenang Manusia vs Ikan
Spesies Kecepatan (km/jam)
Sailfish (hiu gergaji) 110 km/jam
Bluefish; ikan tuna 70 km/jam
Ikan Paus Biru 64 km/jam
Ikan Paus Sperm 32 km/jam
Ikan Paus Bongkok 14 km/jam
Manusia 13 km/jam

Dalam tiga dekade terakhir, perenang biasanya mencukur habis rambut di permukaan kulit yang kontak langsung dengan air. Rambut di kepala biasanya juga dicukur gundul. Kalaupun tidak dicukur, kepala perenang biasa memakai penutup kepala yang bertekstur licin. Namun penemuan teknologi pakaian renang yang revolusioner membuat perenang tidak perlu lagi mencukur rambut semuanya jika ia menggunakan pakaian itu.

Penelitian yang dilakukan Sharp and Costill (1989) terhadap konsentrasi asam laktat darah dan panjang kayuhan perenang sebelum dan sesudah memotong rambut, menunjukkan perbedaan yang signifikan. Perenang yang memotong rambutnya, panjang kayuhannya 10% lebih tinggi, energi yang diperlukannya lebih sedikit 21% dibandingkan mereka yang tidak memotong rambut.

Jadi, semakin sedikit rambut kontak dengan air, makin cepatlah ia bergerak di air!



DAFTAR PUSTAKA
Flat-Top Crewcuts. (http://www.pathguy.com/flattop.htm)

Fortin, Francois. 2000. Sports: The Complete Visual Reference. Firely Books Ltd, Canada.

Intisari. 2002. Rahasia Tubuh Tersimpan di Rambut. (http://www.indomedia.com/ Intisari/2002/01/warna_rambut1.htm)

Johnny Unitas profile. (http://www.cmgww.com/football/unitas/)

Kompas Cyber. 2002. Agar Rambut Selalu Sehat. (11-04-2004, 1906 WIB – KOMPAS Cyber Media – Kesehatan.htm

Pictures NBA, NFL, and MLB Players at http://www.yahoo.com/

Profile National Football League Players at http://www.nfl.com/players/ playerpage/396174

United States Olympic Team. Profile Shane Hamman. (http://www.usolympicteam.com/ 26_828.htm)

USA Today. 2004. Donating hair supply is kids’ sweet dreams. Sports Section, sports/2004-12-14

USA Today. 2004. Hair care ‘neurotic’ practice for athletes. Sports Section, sports/2004-12-14

USA Today. 2004. More male athletes find root of expression in their hair. Sports Section, sports/2004-12-14

Zumerchik, John. 1997. Encyclopedia of Sports Science volume 2. Simon and Schuster MacMillan, New York, USA

Leave a comment

Filed under My Opinion, Sports Science, Tahukah Anda

Perkawinan Olah raga dan Pariwisata

Saat menuliskan ini di bulan Maret 2007 saya sedang berdingin-dingin ria di Moskow, ibukota Rusia. Kota yang indah ini masih diselimuti salju, meski tak tebal lagi. Ajakan dari mantan direktur IBL, Agus A. Mauro, ke Rusia sungguh berat ditolak, sebab sudah lama saya memimpikan bisa berfoto di depan Kremlin dan Lapangan Merah yang kesohor itu.

Waktu masuk kota Moskow dari bandara Sheremetyevo usai terbang 4 jam dari Tashkent Uzbekistan , saya melihat rombongan mobil tentara. “Ah mereka bukannya mau perang tapi mau ada pertandingan sepakbola,” ungkap Serghey, sopir mobil carteran.

Hhm, olahraga Rusia memang dikembangkan dalam suasana militer saat masih dalam rezim komunis. Dari buku Comparative Physical Education and Sports karangan Bruce L. Bennett dkk., klub menjadi inti pengembangan olahraga Sovyet saat itu. Kollektivs (klub) menjadi milik 36 organisasi olahraga amatir (sport societies) yang dinamai sesuai dengan bidangnya.

Sport societies itu antara lain Spartak (koperasi produksi), Dinamo (polisi rahasia), Burevestnik (mahasiswa), Locomotif (jawatan transportasi), dan Trud (buruh), yang ada di 15 negara anggota federasi Uni Sovyet. Nah, mobil tentara itu adalah rombongan tim sepakbola Dinamo Moskow.

Salah satu tujuan saya ke Moskow juga meliput Liga Basket Eropa (Euroleague). Ada dua tim Moskow yang tampil di babak 16 besar: CSKA dan Dinamo. Untuk yang Dinamo punya keistimewaan sebab mereka baru ikut Euroleague musim 2006/2007 namun sudah bisa langsung lolos ke babak 16 besar. Iklim olahraga kental sejak dulu membuat Dinamo Moskow bisa sukses seperti sekarang.

Promosikan Pariwisata

Pembaca, kalau di film-film mafia Rusia sangat dingin, sangat saya rasakan di sini. Rombongan dari Indonesia yang mengikuti event the Moscow International Travel & Tourism (MITT) 2007 harus bekerja ekstrakeras mengatasi segala kesulitan. Mulai dari susahnya pengeluaran kargo, hingga tenaga kerja pembuatan stand (booth).

Karena keterbatasan itulah, akhirnya kami pun bahu membahu menjadi tukang angkut, pembuat booth, tukang kayu, desainer, hingga penjaga stand. Itulah kesaktian orang Indonesia yang membuat saya geleng-geleng sendiri sebab semua dilakukan di bawah tekanan suhu dingin mendekati nol derajat! Misi yang dilakukan adalah memperkenalkan pariwisata Indonesia, khususnya pariwisata dan property di Bali.

Terus terang, saat pergi ke Tashkent, Uzbekistan, betapa saya membandingkan bahwa penggarapan pariwisata di Indonesia kurang maksimal. Padahal, dalam industri olahraga, seperti dipaparkan kandidat ketua KONI Pusat, Helmy Sungkar, sektor pariwisata adalah salah satu sisi koin penting.

“Kalau industri olahraga mau sukses, garap juga sektor pariwisata,” ungkap Helmy saat di kantor BOLA beberapa waktu lalu. Saat di Tashkent dan Moskow itulah saya setuju sekali dengan pendapat Helmy, yang intens menggeluti kepromotoran otomotif.

Pariwisata dan olahraga adalah dua sisi mata uang yang saling berkaitan, bahkan harus saling dikawinkan. eko@bolanews.com

Leave a comment

Filed under Artikel BOLA

Penonton, Kandang Kita, dan Beckham

’Ini Kandang Kita’. Sebuah tagline yang sangat sukses pada pergelaran Piala Asia 2007 di Jakarta. Slogan itu terbukti mampu mengundang para supporter Indonesia untuk datang berbondong-bondong memenuhi Stadion Utama Gelora Bung Karno setiap kali Indonesia berlaga.

Inilah reaksi pasar yang tak diperhitungkan sebelumnya. Tontonan sepakbola yan selama ini identik dengan strata menengah ke bawah, ternyata kali ini bisa menggerakkan gairah papan atas. Menjelang pertandingan menentukan Indonesia vs Korsel, pusat perbelanjaan Plasa Senayan dan Senayan City jadi tempat transit dan ’ngadem’ bagi calon penonton papan atas.

Para penonton itu tentu saja mencari hiburan dan suasana olahraga yang langka terjadi di Jakarta. Ya, kapan lagi bisa menikmati tontonan sepakbola dengan kualitas penyelenggaraan internasional jika tidak di event ini.

Tujuan penonton Indonesia datang ke lapangan bola ternyata sejalan dengan hasil riset Daniel F. Mahony dkk di J League Jepang. Bersama empat koleganya, Mahony melakukan riset berjudul Motivational Factors Influencing the Behaviour of J. League Spectators (2002). Mahony melaporkan tujuh hal yang membuat penonton datang ke lapangan yakni drama di lapangan, pengalaman pribadi yang tak tergantikan, estetika permainan sepakbola, perlengkapan tim, perlengkapan pesepakbola, perlengkapan tempat pertandingan, dan kebanggaan komunitas.

Suasana yang aman dan mencari pengalaman ternyata menjadi indikator para penonton papan atas. ”Ini event internasional. Pasti standar keamanannya internasional dan terjamin,” ungkap seorang penonton, sebutlah namanya David, yang memarkir mobil Jaguarnya di Senayan City lantas berjalan kaki masuk ke kompleks stadion utama bersama kedua anak laki-lakinya. Kaos timnas Indonesia sudah mereka pakai, dan tentu saja original dengan harga ratusan ribu rupiah per potong.

Yang mengejutkan juga, pasar merchandise timnas laris manis bak kacang goreng di pergelaran Piala Asia 2007. Mau yang asli maupun palsu, semua diborong.

Melihat tren itu, ternyata tontonan olahraga di Indonesia memiliki potensi pasar mencengangkan. Dalam pembahasan penelitiannya, Mahony mengungkapkan bahwa unsur kepuasan menonton menjadi prioritas utama responden. Selain puas karena adanya jaminan tempat duduk, mereka berharap mendapat sesuatu (nilai tambah) usai menyaksikan pertandingan 2×45 menit tersebut.

Penonton merasa nyaman dan aman adalah syarat yang tak boleh dibantah dalam sebuah pertunjukan. Dalam pertunjukan musik di Jakarta, penonton senantiasa berbondong-bondong meskipun harga tiket tidaklah murah. Sedangkan di olahraga, perlu effort ekstra dari para penyelenggara event untuk mendatangkan penonton. Sebab fasilitas olahraga yang memadai, nyaman, dan aman bisa dihitung dengan jari di Tanah Air. Stadion utama Bung Karno pun sempat padam lampu saat Korsel berjumpa Arab Saudi adalah contoh paling gres bagaimana pengelolaan fasilitas olahraga di Tanah Air.

Pesona Beckham

Dalam waktu bersamaan, Amerika Serikat kedatangan tokoh sepakbola asal Inggris, David Beckham. Kedatangan Beckham membela LA Galaxy benar-benar mendatangkan daya tarik tersendiri. Pertandingan pertamanya berkostum Galaxy melawan Chelsea, ternyata mampu mendongkrak rating TV ESPN.

ESPN mencatat, rating tertinggi mereka adalah 1.0 pada debut MLS di 1996. Saat itu berhadapan D.C. United versus San Jose Clash yang ditonton pemirsa TV sekitar 1.092.000. Sedangkan dalam pertandingan perdana Beckham membela Galaxy, rating TV masih 1.0 namun ditonton 1.468.000.

Angka rating 1.0 tentu saja masih rendah. Sebagai pembanding, final liga basket NBA 2007 antara San Antonio Spurs vs Cleveland Cavaliers mendapatkan angka rating hanya 6,3 pada gim pertama. Pada pertandingan pertama antara Miami Heat vs Dallas Mavericks setahun sebelumnya (final 2006), rating yang diperoleh 7,8. Jadi, apakah kebintangan Beckham akan mampu mengubah angka rating 1,0 itu menjadi di atas 5,0?

Inilah perjudian besar yang dilakukan CEO of Anschultz Entertainment Group (AEG), Timothy J. Leiweke. Leiweke adalah salah satu orang terkaya di AS. Total kekayaannya mencapai US$ 7 miliar dan menempati peringkat 31 di Amerika Serikat. Kontrak sebagai pemain dan kontrak promosi Beckham mencapai US$ 250 juta untuk 5 tahun.

Menurut George Stone, Ph.D. pengajar pemasaran dari George College & State University , penokohan selebritas dalam sebuah cabang olahraga mutlak diperlukan. Kebintangannya akan mendongkrak penjualan tiket maupun merchandise. Kehebatannya di lapangan akan mengundang orang-orang datang menonton langsung, bahkan mereka merekomendasikan ke orang lain yang akan menggerakkan popularitas cabang olahraga yang bersangkutan.

Prestasi Beckham di Premiership saat membela Manchester United dan Real Madrid di La Liga adalah jaminan mutu untuk kemampuan teknis. Untuk itulah Leiweke memberikan tempat untuk pembentukan akademi sepakbola Beckham di Los Angeles. Kenapa Los Angeles? Sebab LA berada di California dimana komunitas Hispanik dan Asia banyak bermukim. Merekalah pasar potensial, selain komunitas Italia, Jerman, Prancis, maupun Afrika.

Di Los Angeles, naluri selebritis Victoria a.k.a Posh Spice, akan mendapatkan penyaluran. Persaingan antar selebritis dan gosip-gosip akan menjadikan berita Beckham menjadi santapan menarik. Di Los Angeles juga ada tim basket NBA: LA Lakers dan LA Clippers yang popularitasnya tengah naik. Leiweke adalah pemilik stadion Staples Center – markas Lakers dan Clippers – yang pasti akan memberikan tempat khusus bagi Beckham agar terus menerus disorot kamera TV.

Di lapangan bisbol, ada Anaheim Angels yang jarak stadionnya hanya sepelemparan batu dari Los Angeles. Beckham juga pasti akan dihubungkan dengan Barry Bond, jagoan home run dari San Francisco Giants. Cukup 30-40 menit naik pesawat dari Los Angeles, wajahnya akan nampang di TV-TV yang menayangkan bisbol dari San Francisco. Beckham juga pasti akan menjadi tamu agung tim-tim American Football di kawasan California, bahkan juga seluruh Amerika.

Seperti ditulis rekan saya, Bobby Arifin yang menempel terus aktivitas mpok Becky – demikian sandi kami untuk Beckham – Beckham bukanlah Harry Potter. Walaupun menjadi tokoh sentral, Potter perlu bantuan rekan macam Ron, Hermione, Sirius Black, maupun Dumbledore dalam mengembangkan kekuatannya melawan Voldemort.

Saya juga tak pernah percaya bahwa tokoh Potter akan dimatikan J.K. Rowling dalam buku terbarunya Deathly Hallows, seperti yang digosipkan banyak orang. Saya sudah tahu siapa yang akhirnya mati, namun tak enak kalau ditulis di artikel ini. Yang pasti, sama seperti Rowling, Leiweke sangat mengerti bagaimana mengelola aset sekaliber Beckham.

Ia punya waktu lima tahun untuk menjawab segala nada pesimistis dan Leiweke tahu banyak hal sebab ”Amerika adalah Kandang Saya”. eko@bolanews.com

Leave a comment

Filed under Manajemen Olah Raga, My Opinion, Pemasaran Olah Raga, Tahukah Anda

Kultur Olahraga dan Satu Komitmen

(Monday, October 1, 2007) Kultur Olahraga dan Satu Komitmen Masa lalu memang elok dikenang. Kita tahu bahwa di masa lalu, prestasi olahraga Indonesia memang cemerlang. Di ulang tahun ke-62 kemerdekaan Indonesia ini saya sedang mencari jawaban mengapa olahraga Indonesia yang di masa lalu cemerlang kini terjengkang?

Lewat penelusuran literatur di sebuah perpustakaan di Malaysia untuk keperluan penelitian disertasi, saya menemukan kajian ilmiah seorang doktor filosofi olahraga asal Inggris, Iain Adams. Adams menulis jurnal ”Peranan Pancasila dalam Pembangunan Olahraga di Indonesia antara Ambisi dan Rintangan”.

Dengan bahasa yang terstruktur, Adams mengkaji secara gamblang sila demi sila Pancasila dalam konteks kontribusinya ke pembangunan olahraga Indonesia. Adams tak asing dengan olahraga di Indonesia sebab ia pernah diminta World Bank membantu pengembangan kemampuan 10 guru pendidikan jasmani (penjas) Indonesia. Ia pun diminta membantu pembuatan kurikulum Penjas SMA beberapa waktu lalu.

Seorang pakar olahraga Indonesia sempat mencibir saat tahu saya berniat membedah kemajuan olahraga Malaysia, beberapa waktu lalu. ”Kok ke Malaysia? Malaysia itu dulu belajar dari kita dalam pengembangan olahraganya, lho,” ungkap pakar sepuh itu di sebuah acara pernikahan atlet basket nasional.

Hhm, saya dan si pakar memang berbeda kohort. Jaman dia, prestasi di SEAG kita lebih hebat dibandingkan Malaysia. Namun di jaman saya, Indonesia (mulai) tidak ada apa-apanya dibandingkan Malaysia. Mengapa demikian?

”Kuncinya adalah budaya olahraga (sport culture). Ketika budaya olahraga sudah menjadi bagian dari keseharian sebuah bangsa, ketika itulah prestasi olahraga akan otomatis maju,” ungkap Dato Sieh Kok Chi, tokoh senior olahraga Malaysia di kantor Olympic Council of Malaysia.

Belajar Sisi Gelap
Dalam skala lebih kecil, sebuah teladan bagus ditunjukkan Liga Bola Basket Malaysia (NBL). Direktur liga, Tan Kee Hian, secara intensif berdiskusi dengan saya bagaimana membuat liga basket yang ideal. Seingat saya, dalam lima tahun terakhir kami getol membahasnya, baik via e-mail, telepon, atau saat bertemu muka.

Dia selalu bertanya sisi buruk kegagalan IBL mengembangkan diri. Beberapa pertanyaannya: Mengapa ada kasus pinjaman 700 juta oleh Ary Sudarsono? Mengapa Agus Mauro dicopot? Mengapa konsep promotor dipaksakan? Mengapa cuma Aspac dan SM mendominasi liga? Mengapa pemain asing tak ada lagi?

Sebagai sarjana pemasaran lulusan universitas Indiana, otak bisnis Tan terus berputar. Ia pernah bekerja 2 tahun di Cleveland Cavaliers sebagai satu-satunya orang Asia di tim NBA asal state Ohio itu. Pengalaman, koneksi, dan referensi sisi gelap liga basket negara lain ia ramu menjadi konsep baru memajukan liga basket Malaysia.

”Saya tidak ingin hanya SM atau Aspac saja yang berpeluang menjadi juara liga. Pemain bagus tak boleh hanya di sebuah tim. Itu konsep saya mengatur liga NBL,” ungkap bapak dua anak ini.Maka ia blak-blakan menerangkan konsep draft NBL yang pertama kali dilaksanakan pas saya ke Kuala Lumpur pekan lalu. Dalam acara draft, ia mengundang dan menyeleksi pebasket asing yang kebetulan tengah studi atau sedang bekerja di Malaysia. Berbondong-bondong pebasket asal Filipina, Kamerun, Nigeria, dll mendaftarkan diri.

Secara fair, tim terlemah mendapatkan pemain terbaik. Chris Kuete (Kamerun), mahasiswa NILAI College akhirnya didraft Klang WCT Land. ”Tak ada pemain titipan (golden boy) di acara draft ini,” ledek Tan pada saya. Tim peringkat pertama Segamat Rimba Timor memutuskan tak memilih pemain asing demi meningkatkan persaingan antar tim.

Kepercayaan PenuhMenurut Tan, para pemilik klub menyerahkan kepercayaan penuh padanya mengurus liga. ”Mereka satu suara untuk kemajuan bersama. Tidak ada penumpukan pemain bagus di sebuah tim atau menang-menangan sendiri. One for all, all for one,” ungkap mantan kapten timnas Malaysia ini.

Pembaca, uang NBL tidak banyak, jauh lebih sedikit dari nominal sponsorship A Mild ke IBL. Oh ya, bayaran pemain asing itu berapa sih? Tak mahal hanya sedikit di atas UMR Jakarta. Kok mereka mau dibayar murah?

”Itu karena kultur olahraga yang kental di Malaysia. Para pemain asing senang bisa menjadi bagian NBL walaupun bayarannya tak besar. NBL pun bertoleransi tak mengganggu kuliah maupun pekerjaan mereka sebab pendidikan dan pekerjaan adalah modal berharga mereka,” ungkap Tan.

Jika konsep itu terus dilaksanakan dan tetap menjaga mindset, bukan tak mungkin NBL akan menyalip IBL dalam waktu dekat. ”Ah, kami tak secepat itu. Masih perlu waktu,” ungkap Kee merendah.

Pembaca, sempatkanlah sedikit waktu untuk membaca literatur bagus berjudul ”Healthy Bodies, Healthy Minds’: Sport and Society in Colonial Malaya” karya Janice N. Brownfoot. Percayalah, Malaysia juga belajar dari keberhasilan dan kegagalan Indonesia mempertahankan kejayaan di olahraga. Selamat ulang tahun kemerdekaan ke-62, Tanah Airku tercinta! eko@bolanews.com

Leave a comment

Filed under Artikel BOLA, My Opinion